Sabtu, 10 Oktober 2020

keperawatan gawat darurat

EPILEPSI Epilepsi, menurut dr. Mohamad Saekhu, SpBS, dari Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM Jakarta, terjadi akibat tidak normalnya aktivitas listrik di otak. Hal ini menyebabkan kejang dan perubahan perilaku dan hilangnya kesadaran. Tanda-tandanya bisa berupa kehilangan kesadaran untuk waktu tertentu, kejang, lidah menjulur, keluar air liur, gemetar atau tiba-tiba black out. Ada dua jenis epilepsi yang dikenal, yaitu epilepsi umum, berupa hilangnya kesadaran, kejang seluruh tubuh hingga mengeluarkan air liur berbusa dan napas mengorok, serta terjadi kontraksi otot yang mengakibatkan pasien mendadak jatuh atau melemparkan benda yang tengah dipegangnya. Selain itu dikenal epilepsi parsial yang ditunjukkan oleh rasa kesemutan atau rasa kenal pada satu tempat yang berlangsung beberapa menit atau jam. Bisa juga, rasa seperti bermimpi, daya ingat terganggu, halusinasi, atau kosong pikiran. Seringkali diikuti mengulang-ulang ucapan, melamun, dan berlari-lari tanpa tujuan. Sebagian besar penderita epilepsi terjadi karena faktor keturunan. Anak yang lahir dari keluarga penderita epilepsi, cenderung menderita epilepsi juga. Selain itu, epilepsi juga bisa disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang mengganggu fungsi otak. "Epilepsi bisa terjadi karena kelainan bentukan otak (kongenital), infeksi penyakit yang menyebabkan radang otak, adanya tumor di otak, step berulang, gangguan metabolisme, serta ada yang tidak diketahui penyebabnya," kata dr.Saekhu. Penderita epilepsi sebagian besar memang anak-anak, namun epilepsi juga bisa muncul di usia dewasa. Menurut dr.Hanif Tobing, ahli bedah saraf dari FKUI/RSCM, kasus epilepsi pada orang dewasa biasanya terjadi karena infeksi atau trauma di kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan memar otak. Bebas kejang Menurut dr.Saekhu, obat-obatan yang diberikan pada pasien epilepsi tidak langsung menyembuhkan epilepsi, tapi hanya bersifat mengendalikan atau menjarangkan serangan, bahkan menghilangkannya. "Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah bebas kejang," paparnya. Seorang penyandang epilepsi umumnya memerlukan obat sampai tidak dijumpai lagi serangan dalam jarak waktu tertentu, tergantung dari tipe epilepsi, riwayat epilepsi masa lalu, dan hasil rekaman listrik otak. Tindakan operasi bisa dilakukan jika pengobatan yang diberikan pada pasien tidak mengurangi keluhan epilepsi. "Di RSCM, tindakan operasi bisa dilakukan jika pemeriksaan MRI menunjukkan ada glioma atau jenis tumor jinak," imbuh dr.Hanafi. Meski sudah dilakukan operasi, namun pasien epilepsi tetap wajib mengonsumsi obat anti kejang. Yang penting diketahui orangtua, epilepsi tidak selalu mengakibatkan kemunduran kecerdasan pada penderita. Anak juga bisa bisa beraktivitas dengan normal seperti anak sehat lainnya asalkan tetap teratur mengonsumsi obat. TOPIRAMATE Struktur Topiramate Topiramate merupakan monosakarida tersubstitusi yang strukturnya berbeda dari semua obat antikejang lainnya. Formula empiris topiramate adalah C12H21NO8S. Menurut Porter dkk (2001) Berat molekul 339,36. Topiramate berbentuk serbuk kristal putih yang berasa pahit.8 Topiramate paling cepat larut dalam larutan alkaline yang mengandung sodium hydroxyde atau sodium phosphate dan mempunyai pH 9 sampai 10. Topiramate tersedia dalam bentuk tablet dan sprinkle yang bisa dicampur dengan makanan atau minuman. Tersedia Dosis Bentuk: • Tablet Tablet • Capsule Kapsul Therapeutic Class: Anticonvulsant Terapi Kelas: anticonvulsant Chemical Class: Fructopyranose Sulfamate Kimia Kelas: Sulfamate Fructopyranose Kontra indikasi Kehadiran masalah medis lain dapat mempengaruhi penggunaan topiramate. Kehadiran Masalah Medis lain dapat mempengaruhi penggunaan topiramate. Pastikan Anda memberitahukan dokter jika Anda memiliki masalah medis lainnya, terutama: Pastikan Andari Andari Dokter memberitahukan jika memiliki Masalah Medis Lainnya, terutama: • Bone masalah (misalnya, osteoporosis) atau Masalah Bone (misalnya, osteoporosis) • Depresi, sejarah atau depresi, atau Riwayat • Eye atau masalah penglihatan (misalnya glaukoma) atau Mata penglihatan atau gangguan (misalnya glaukoma) • Metabolic acidosis (terlalu banyak asam dalam darah), sejarah-Gunakan dengan hati-hati. Asidosis metabolik (BANYAK asam Darah KESAWAN Terlalu), hati Artikel Baru Sejarah-Gunakan-hati. Mungkin membuat kondisi lebih buruk. Mungkin Buruk Membuat lebih kondisi. • gangguan metabolisme kongenital (lahir dengan penyakit yang mempengaruhi metabolisme)-Gunakan dengan hati-hati. gangguan metabolisme kongenital (penyakit Artikel Baru Lahir Yang mempengaruhi metabolisme) hati Artikel Baru-Gunakan-hati. Dapat meningkatkan risiko efek samping yang lebih serius. • Dapat meningkatkan risiko Efek Samping • Diare atau Diare atau • ketogenic diet (tinggi lemak, rendah protein, diet rendah karbohidrat) atau diet ketogenic (Tinggi Lemak, rendah protein, diet karbohidrat rendah) atau • Masalah ginjal atau atau Masalah Ginjal • Paru gangguan pernafasan penyakit atau lainnya atau Penyakit atau Masalah atau paru-paru pernapasan lain • Status epilepticus (misalnya, keadaan epilepsi di mana Anda memiliki banyak kejang berturut-turut dan tidak mendapatkan kesadaran) atau epilepticus Status (misalnya, keadaan epilepsi di mana Andari memiliki BANYAK kejang dan kesadaran regular tidak berturut-turut mendapatkan) atau • Pembedahan-Masalah-masalah ini dapat membuat suatu kondisi yang disebut asidosis metabolik terjadi atau membuatnya lebih buruk. Pembedahan Suami-Masalah-Masalah dapat kondisi suatu Membuat Yang disebut asidosis metabolik terjadi atau membuatnya lebih Buruk. • Penyakit ginjal atau atau Penyakit ginjal • Penyakit hati-Gunakan dengan hati-hati. Artikel Baru Penyakit hati hati-Gunakan-hati. tingkat darah lebih tinggi dapat mengakibatkan topiramate dan meningkatkan kemungkinan efek samping. Darah Tinggi tingkat lebih dapat mengakibatkan topiramate dan meningkatkan kemungkinan Efek Samping. Farmakokinetika Potter dkk (2001) melaporkan topiramate diabsorpsi dengan cepat (sekitar dua jam) dan biovailabilitas sekitar 80%. Tidak ada efek makanan terhadap absorpsi, ikatan dengan protein plasma adalah minimal (15%) dan metabolismenya hanya tingkat menengah (20-50%) ; tidak terbentuk metabolit aktif. Obat ini sebagian besar diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urine. Waktu-paruhnya sekitar 20-30 jam. Meskipun peningkatan kadar di dalam darah terlihat pada gagal ginjal dan gangguan hati, tidak ada efek jenis kelamin atau umur, tidak ada otoinduksi, tidak ada inhibisi metabolisme, dan kinetikanya bersifat linier. Interaksi obat terjadi dan dapat menjadi komplek, tetapi efek utamanya adalah terhadap kadar topiramate daripada terhadap kadar obat antikejang lainnya Topiramate sebagai terapi tambahan Elterman dkk (1999) telah melakukan penelitian terhadap efikasi topiramate 6 mg/kgBB/hari pada anak (usia 2 sampai 16 tahun) sebagai terapi tambahan untuk pasien dengan kejang parsial yang tidak terkontrol pada suatu percobaan multisenter, acak, plasebo-kontrol, buta ganda. Hasil penelitian menunjukkan pasien yang diterapi topiramate mempunyai median persentase reduksi kejang yang lebih besar daripada plasebo. Hasil penelitian ini menyimpulkan topiramate aman dan efektif untuk terapi tambahan kejang parsial pada anak.9 Topiramate efektif untuk terapi tambahan untuk kejang parsial pada dewasa. Biton dkk (1999) melaporkan efikasi dan keamanan topiramate sebagai terapi tambahan untuk kejang tonik-klonik umum dalam penelitian acak, terkontrol, buta ganda pada dewasa dan anak-anak. Latar belakang obat yang dipakai diantaranya adalah asam valproat, phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, phenobarbital, clonazepam, gabapentin dan primidone. Hasil penelitian selama 20 minggu menunjukkan persentase median reduksi dari dasar adalah 56,7% untuk pasien dengan topiramate dan 9% untuk plasebo. Proporsi dari pasien dengan reduksi kejang tonik-klonik umum sebesar 50% atau lebih pada kejang tonik-klonik umum 56% pada topiramate dan 20% pada plasebo. Hal ini membuktikan topiramate cukup baik ditoleransi dan efektif sebagai terapi tambahan untuk kejang tonik-klonik umum pada anak-anak dan dewasa. Mikaeloff dkk (2003) melaporkan efikasi dan tolerabilitas topiramate sebagai terapi tambahan pada anak kurang dari 12 tahun dengan epilepsi refrakter sesuai sindrom epilepsi pada suatu penelitian prospektif multisenter. Topiramate efektif pada 50% pasien dari 128 pasien dengan epilepsi parsial dan 44% pada 79 pasien dengan epillepsi general. Pada anak kurang dari 4 tahun, topiramate mempunyai tolerabilitas yang baik. Penelitian Mikaeloff menyimpulkan topiramate efektif dan ditoleransi dengan baik pada anak usia kurang dari 12 tahun pada epilepsi sindrom spektrum luas mencakup epilepsi parsial refrakter dan epilepsi general. Topiramate pada status epileptikus refrakter Menurut Meyer dkk (2002) status epileptikus refrakter didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit walaupun telah mendapat pengobatan dengan benzodiazepin dan obat anti kejang standar intravena dosis tinggi yang adekuat atau aktivitas kejang yang persisten setelah mendapat obat anti kejang yang sesuai.12 Appleton dkk (2000) menyatakan sampai saat ini tidak algoritme khusus untuk pengobatan status epileptikus refrakter pada anak.13 Pendekatan telah didasarkan pada pengalaman klinis dan publikasi-publikasi ilmiah yang sedikit. Studi pada dewasa menurut Towne dkk (2003) topiramate dilaporkan efektif untuk penderita status epileptikus refrakter.14 Dua laporan sebelumnya, satu dengan kasus tunggal dan kasus lain berupa laporan seri 6 pasien menunjukkan topiramate cukup efektif pada pasein dewasa dengan status epileptikus refrakter. Kahriman dkk (2003) melaporkan efikasi topiramate pada anak-anak dengan status epileptikus. Hasil penelitian pada 3 kasus dengan penyakit dasar yang berbeda menunjukkan potensial efikasi dari topiramate pada status epileptikus refrakter.15 Topiramate pada sindrom Lennox-Gastaut Sachdeo dkk (1999) mengemukakan sindrom Lennox-Gastaut adalah sindrom epilepsi berat yang mempunyai karakterisktik tipe kejang yang multipel dan pola EEG yang spesifik. Regresi atau mental retardasi sering terjadi. Sejumlah tipe kejang sering bermanifestasi sebagai tonik, atonik dan kejang absen. Sindrom Lennox-Gastaut biasanya terjadi pada usia 1 sampai 8 tahun. Prognosis biasanya buruk dengan deteriorisasi fungsi mental dan frekuensi kejang yang cukup sering.16 Obat anti epilepsi konvensional banyak yang tidak efektif melawan kejang multipel yang terlihat pada sindrom Lennox-Gastaut. Dua macam anti epilepsi baru felbamate dan lamotrigine, telah menunjukkan efikasi untuk terapi sindrom ini, tetapi mempunyai efek samping yang cukup serius. Karena itu, masih dibutuhkan obat anti epilepsi yang mempunyai kapabilitas mengontrol kejang yang berhubungan dengan sindrom Lennox-Gastaut.17 Sachdeo dkk (1999) melaporkan evaluasi dan efikasi dari topiramate sebagai terapi tambahan pada sindrom Lennox-Gastaut pada suatu penelitian terkontrol, multisenter, buta ganda. Hasil penelitian menunjukkan topiramate sebagai terapi tambahan efektif menurunkan jumlah drop attacks dan serangan kejang mayor dan memperbaiki derajat kegawatan. Pilihan terapi pada sindrom ini terbatas, penurunan frekuensi dari drop attacks yang dipicu oleh topiramate, tanpa toksisitas yang signifikan, mengindikasikan bahwa topiramate merupakan tambahan yang penting untuk penatalaksanaan sindrom Lennox-Gastaut.15 Guerreiro dkk (1999) telah melakukan penelitian topiramate sebagai terapi tambahan untuk sindrom Lennox-Gastaut dengan mengevaluasi efikasi jangka panjang, keamanan, kualitas hidup penderita pada penggunaan jangka panjang topiramate. Hasil penelitian menyimpulkan topiramate berguna sebagai terapi tambahan untuk terapi sindrom Lennox-Gastaut. Efikasi topiramate pada terapi jangka panjang dipertahankan pada lebih dari 40 pasien, keamanan jangka panjang telah dikonfirmasi dan kualitas hidup penderita meningkat. Topiramate pada sindrom Angelman Menurut Jiang dkk (1999) sindrom Angelman adalah penyakit neuro-genetik yang ditandai dengan gangguan perkembangan, kelainan bicara, kelainan tingkah laku dan kejang dengan pola EEG yang abnormal. Kejadian di Amerika Serikat kurang lebih 1: 15000 populasi.19. Kejang terjadi pada 80% penderita dan meliputi semua tipe kejang terutama absens, mioklonik, atonik, tonik dan tonik-klonik. Nolt dkk (2003) mengemukakan obat anti kejang yang paling sesuai untuk sindrom Angelman masih dalam perdebatan. Franz dkk (2000) melaporkan 5 anak dengan sindrom Angelman yang telah diterapi dengan topiramate. Hasil penelitian menunjukkan topiramate efektif dan ditoleransi dengan baik karena efek GABA-ergik. Penelitian lebih jauh diperlukan untuk konfirmasi observasi. Efek samping topiramate Gilliam dkk (2003) melaporkan efek samping yang cukup sering berhubungan dengan kelainan sistem saraf diantaranya yakni parestesia. Kejadian batu ginjal lebih banyak terjadi pada dewasa dibanding anak-anak. Tidak ada tanda idiosinkrasi toksisitas organ jangka panjang atau pendek yang dievaluasi dari penggunaan topiramate. Privitera dkk (2003) dalam penelitiannya melaporkan profil efek samping utama pada pasien yang diterapi topiramate adalah parestesia. Studi ini juga melaporkan keluhan kognitif cenderung untuk dose-related dan terjadi lebih sedikit pada monoterapi, selain itu topiramate tidak berefek pada pertumbuhan. Menurut Gilliam dkk (2003) kebanyakan efek samping cenderung menghilang setelah topiramate ditoleransi dengan baik. Tabel 3 Efek samping terbanyak selama terapi tambahan dengan topiramate Topiramate sebagai obat atiepilepsi baru dengan mekanime kerja luas dan efek samping minimal, dapat direkomendasikan sebagai terapi tambahan epilepsi pada anak. Peran perawat Dalam pemberian obat-obatan neuro di lapangan pada pasien, penting sekali memperhatikan enam benar pemberian obat, yaitu; 1. Benar nama pasien 2. Benar nama obat 3. Benar dosis obat yang aka diberikan 4. Benar waktu pamberian 5. Benar cara pemberian dan 6. Benar mendokumentasikan Hal ini sangat penting selalu diingatkan atau dikontrol ulang pada saat obat akan diberikan pada pasien, baik obat yang diberikan secara oral maupun obat yag diberikan secara pareteral. Kondisi- kondisi yang memungkinkan salah dalam memberikan obat adalah : - salah nama, karena dalam ruang perawatan tersebut terdapat nama pasien yang sama, hal ini sering merupakan kelalaian petugas, baik tenaga medis maupun perawat, namun sebetulnya walau nama pasien sama tetapi identitas pasien yang lain seperti nomor register, usia dan kamar atau alamat pasien tetap berbeda. Salah nama obat, hal ini dapat terjadi pada saat penulisan resep oleh tenaga medis, karena ada beberapa dokter yang cenderung mempunyai pasien lebih dari satu pada bangsal tersebut dan penulisan resep tidak dilakukan pada saat memeriksa pasiennya, tetapi menulis resep di tempat lain setelah memeriksa seluruh pasien. - Tidak tepat dosis, waktu dan cara memberikan obat, tak jarang obat yang harusnya diberikan sesuai dosis dan waktu yang ditentukan, namun karena kelalaian dan kekurang trampilan dari perawat dalam pengaturan waktu serta terbatasnya dana pasien , sering menjadi mundur dosis dan waktu pemberiannya. Dokumentasi tidak tepat, hal yang masih ditemui di lapangan tidak lengkap dalam menuliskan apa yang sudah dikerjakan pada pasien sebagai dasar kekuatan hukum bagi seorang perawat, bila terjadi hal-hal dikemudian hari, seharusnya pada saat dokumentasi ditulis secara rinci jenis obat, berapa dosis, cara dan waktu saat pemberian , serta reaksi bila ada setelah pemberian obat tersebut pada status rawat pasien dan harus tercantum siapa nama petugas yang memberikan berikut paraf atau tanda tangan. Perawat harus memperhatikan hal berikut : • Interpretasikan dengan tepat resep obat yang dibutuhkan • Hitung dengan tepat dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan resep • Gunakan prosedur yang sesuai dan aman, ingat prinsip 5 benar dalam pengobatan • Setelah memvalidasi dan menghitung dosis obat dengan benar, pemberian obat dengan akurat dapat dilakukan berdasarkan prinsip 5 benar. DAFTAR PUSTAKA Prastiya Indra Gunawan, Darto Saharso,Erny,Kelompok Studi Neurodevelopmental Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya,FK UHT/RSAL Dr. Ramelan Surabaya. http://www.drugs.com/cons/topiramate.html http://www.news-medical.net/news/2004/06/14/23/Indonesian.aspx http://medicastore.com/obat/9590/TOPAMAX_SPRINKLE.html http://epilepsiindonesia.com/obat-epilepsi/topamax http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.drugs.com/cons/topiramate.html http://kesehatan.kompas.com/read/2010/02/25/1415254/Memahami.Epilepsi http://berbagi-sehat.com/article/12254/peran-perawat-dalam-pemberian-obat.html

Rabu, 02 Februari 2011

askep keperawatan medical bedah


ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI PEMASANGAN SELANG WATER SEAL DRAINAGE (WSD)

A. Dasar Teori
1. Definisi
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara maupun cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
2. Indikasi
a. Pneumothoraks
b. Hemothoraks
c. Thorakotomy
d. Efusi pleura
e. Emfiema
3. Tujuan pemasangan WSD
a. Memungkinkan cairan ( darah, pus, efusi pleura ) keluar dari rongga pleura.
b. Mencegah udara masuk kembali ke rongga pleura yang dapat menyebabkan pneumotoraks.
c. Mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan mempertahankan tekanan negatif pada intra pleura.
d. Mengembangkan kembali paru yang kolaps.
4. Jenis-jenis WSD
a. Satu botol
Sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup mempunyai dua lobang, satu untuk ventilasi udara dan lainnya memungkinkan selang masuk hampir ke dasar botol.
b. Dua botol
Pada sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol penampung dan yang kedua bekerja sebagai water seal. Pada sistem dua botol, penghisapan dapat dilakukan pada segel botol dalam air dengan menghubungkannya ke ventilasi udara.
c. Tiga botol
Pada sistem tiga botol, botol kontrol penghisap ditambahkan ke sistem dua botol. Botol ketiga disusun mirip dengan botol segel dalam air. Pada sistem ini yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ketiga dan bukan jumlah penghisap di dinding yang menentukan jumlah penghisapan yang diberikan pada selang dada. Jumlah penghisap di dinding yang diberikan pada botol ketiga harus cukup unutk menciptakan putaran-putaran lembut gelembung dalam botol.
d. Unit drainage sekali pakai
 Pompa penghisap Pleural Emerson.
Merupakan pompa penghisap yang umum digunakan sebagai pengganti penghisap di dinding. Pompa Penghisap Emerson ini dapat dirangkai menggunakan sistem dua atau tiga botol.
 Fluther valve.
 Calibrated spring mechanism.
B. Asuhan Keperawatan Post Operasi Pemasangan Selang WSD
1. Perawatan pasca operasi pemasangan selang WSD.
a. Perhatikan undulasi pada sleng WSD
Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain
- Motor suction tidak berjalan
- Slang tersumbat
- Slang terlipat
- Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi sistem drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas.
b. Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar
c. Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air
d. Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah cairan yg keluar.
e. Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama.
f. Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan
g. Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang terlipat.
h. Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi
i. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
j. Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang dibuang.
k. Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran
l. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema subkutan
m. Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk efektif.
n. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh.
o. Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD.
p. Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
2. Hal yang yang harus di perhatikan pada klien yang menggunakan WSD
a. Kaji adanya distress pernafasan & nyeri dada, bunyi nafas di daerah paru yg terkena & TTV stabil.
b. Observasi adanya distress pernafasan.
c. Observasi :
- Pembalut selang dada.
- Observasi selang untuk melihat adanya lekukan, lekukan yang menggantung, bekuan darah.
- Sistem drainage dada.
- Segel air untuk melihat fluktuasi inspirasi dan ekspirasi klien.
- Gelembung udara di botol air bersegel atau ruang.
- Tipe & jumlah drainase cairan. Catat warna & jumlah drainase, TTV & warna kulit.
- Gelembung udara dalam ruang pengontrol penghisapan ketika penghisap digunakan
d. Posisikan klien :
- Semi fowler sampai fowler tinggi untuk mengeluarkan udara (pneumothorak).
- Posisi fowler untuk mengeluarkan cairan (hemothorak)
e. Pertahankan hubungan selang antara dada dan selang drainase utuh dan menyatu.
f. Gulung selang yang berlebih pada matras di sebelah klien. Rekatkan dengan plester.
g. Sesuaikan selang supaya menggantung pada garis lurus dari puncak matras sampai ruang drainase. Jika selang dada mengeluarkan cairan, tetapkan waktu bahwa drainase dimulai pada plester perekat botol drainase pada saat persiaan botol atau permukaan tertulis sistem komersial yang sekali pakai.
h. Urut selang jika ada obstruksi.
i. Cuci tangan
j. Catat kepatenan selang, drainase, fluktuasi, TTV klien, kenyamanan klien
3. Cara mengganti botol WSD
a. Siapkan set yang baru.
b. Botol berisi cairan aquadest ditambah desinfektan.
c. Selang WSD di klem dulu.
d. Ganti botol WSD dan lepas kembali klem.
e. Amati undulasi dalam slang WSD
4. Indikasi Pencabutan selang WSD
Indikasi pengangkatan WSD adalah bila :
a. Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
- Tidak ada undulasi.
- Cairan yang keluar tidak ada.
- Tidak ada gelembung udara yang keluar.
- Kesulitan bernafas tidak ada.
- Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara.
- Dari pemeriksaan tidak ada cairan atau udara.
b. Slang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan pada slang.
5. Komplikasi yang mungkin muncul
 Primer
- Perdarahan
- Edema paru
- Tension pneumothoraks
- Atrial aritmia
 Sekunder
- Infeksi
- Empyema

6. Masalah keperawatan yang mungkin muncul pasca oprasi pemasangan WSD
- Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru, Penumpukan sekret / mucus, Kecemasan,Proses peradangan.
- Resiko terjadi injury
- Nyeri akut b.d prosedur pembedahan, trauma jaringan, interupsi saraf, diseksi otot.
- Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya mikroorganisme sekunder terhadap pembedahan, alat fiksasi infasif.
7. Pengkajian
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian klien, perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan riwayat klien, status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi.
a. Pemeriksaan fisik dan manifestasi klinik..
b. System pernafasan.
Ketika klien dimasukan ke PACU, Perawat segera mengkaji klien:
- Potency jalan nafas,  meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Perubahan pernafasan ( rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit  depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal  gangguan cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat.
- Auscultasi paru  keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
- Inspeksi: Pergerakan didnding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal  efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
c. Thorax Drain.
Sistem Cardiovasculer.
Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tuiap 15 menit ( 4 x ), 30 menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi stabil.
Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung  depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi.
Nadi meningkat  shock, nyeri, hypothermia.
Kaji sirkulasi perifer ( j\kualitas denyut, warna, temperatur dan ukuran ektremitas.
Homan’s saign  trombhoplebitis pada ekstrimitas bawah ( edema , kemerahan, nyeri).
d. Keseimbangan cairan dan elektrolit
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
- Ukur cairan  NG tube, out put urine, drainage luka.
- Kaji intake / out put.
- Monitor cairan intravena dan tekanan darah.
e. Sistem Persyarafan.
- Kaji fungsi serebral dan tingkat kersadaran  semua klien dengan anesthesia umum.
- Klien dengan bedah kepala leher :  respon pupil, kekuatan otot, koordinasi. Anesthesia umum  depresi fungsi motor.
f. Sistem perkemihan.
- Kontrol volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
- Anesthesia , infus IV, manipulasi operasi  retemnsio urine.
- Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah (distensi buli-buli).
- Dower catheter  kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam  komplikasi ginjal.

g. Sistem Gastrointestinal.
- Mual muntah  40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
- Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suarar usus.
- Kaji paralitic ileus  suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
- Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
 Meningkatkan istirahat.
 Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
 Memonitor perdarahan.
 Mencegah obstruksi usus.
 Irigasi atau pemberian obat.
Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.

h. Sistem Integumen.
- Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat steroid.
- Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan – satu tahun.
- Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat disebabkan :
• Infeksi luka.
• Diostensi dari udema / palitik ileus.
• Tekanan pada daerah luka.
• Dehiscence.
• Eviscerasi.
i. Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat di ruang PAR, ( Jumlah, warna, konsistensi, dan bau cairan drain dan tanggal observasi).Dan minimal tiap 8 jam saat di ruangan.

j. Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan posisi intra operative.
Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan darah, hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis.
Kualitas nyeri sebelum dan setelah pemberian analgetika.

k. Pemeriksaan Laboratorium.
Dilakukan untuk memonitor komplikasi .
Pemeriksaan didasarkan pada prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi pot operative. Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap


8. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Tujuan ( NOC ) Intervensi ( NIC )
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru, Penumpukan sekret / mucus, Kecemasan,Proses peradangan.
Pola nafas efektif.
Kriteria :
 Frekuensi nafas dalam rentang normal
 Suara paru jelas dan bersih.
Berpartisipasi dalam aktivitas. • Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.
• Posisikan klien dada posisi semi fowler.
• Kaji pernafasan selama tidur.
• Auskultasi bunyi nafas, dan catat adanya bunyi nafas.
• Observasi pola batuk dan karakter sekret.
• Dorong dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif.
Kolaborasi:
• Berikan oksigen tambahan.
• Berikan humidifikasi tambahan.
• Cek ruang kontrol suction untuk jumlah cairan yang keluar dengan tepat ( untuk batas air dinding regulator terpasang dengan benar).
• Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan pada batas yang telah ditetapkan.
• Observasi gelembung udara pada botol WSD.
• evaluasi gelembung udara yang terjadi.
• Tentukan lokasi kebocoran pada pasien atau WSD ( dengan memasang klem pada selang kateter toraks distal ) dengan sedikit ditarik keluar.
• Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD.
• Monitor untuk undulasi abnormal dan catat apabila ada perubahan yang menetap atau sementara.
• Evaluasi apakah perlu tube tersebut dilakukan pengurutan.
• Atur posisi sistem drainage agar berfungsi seoptimal mungkin, misalnya sisakan panjang selang pada tempat tidur, yakinkan bahwa selang itu tidak kaku dan menggantung di atas WSD, keluarkan akumulasi cairan bila perlu.
2. Resiko terjadi injury berhubungan dengan pemasangan selang WSD.

• mengenal tanda-tanda komplikasi.
• pencegahan lingkungan / bahaya fisik lingkungan.

• Review dengan pasien akan tujuan / fungsi drainege, catat/ perhatikan tujuan yang penting dalam penyelamatan jiwa.
• Fiksasi kateter thoraks pada didnding dada dan sisakan panjang kateter agar pasien dapat bergerak atau tidak terganggu pergerakannya.
• Usahakan WSD berfungsi dengan baik dan aman dengan meletakkannya ebih rendah dari bed pasien di lantai atau troli.
• Lengkapi dengan alat transportasi yang aman bila dibawa ke lain unit untuk pemeriksaan diagnostic.
• Observasi adanya tanda-tanda respirasi distress bila kateter thoraks tercabut.
• Anjurkan pasien untuk tidak menekan atau membebaskan selang dari tekanan, misalnya tertindih tubuh.
• Kaji perubahan yang terjadi, catat ; beri tindakan perawatan jika :
- perubahan suara bubling
- kebutuhan O2 yang tiba-tiba
- nyeri dada
- lepasnya selang
• Monitor insersi kateter pada dinding dada, perhatikan keadaan kulit di sekitar kateter drainage. Ganti dressing dengan kassa steril setiap kali diperlukan.


3. Nyeri akut b.d prosedur pembedahan, trauma jaringan, interupsi saraf, diseksi otot.

Nyeri berkurang
Kriteria evaluasi:
- Mengungkapkan tidak ada nyeri
- Tidak merintih, menangis
- Ekspresi wajah rileks
- Klien menyatakan nyeri berkurang, tidak takut melakukan mobilisasi,
- klien dapat istirahat dengan cukup.
- Skala nyeri sedang • Beri penjelasan pada klien tentang sebab dan akibat nyeri.
• Ajarkan teknik relaksasi dan destraksi.
• Bantu klien menentukan posisi yang nyaman bagi klien.
• Rawat luka secara teratur daan aseptik.
• Berikan analgesic sesuai indikasi.
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya mikroorganisme sekunder terhadap pembedahan, alat fiksasi infasif.
Klien tidak mengalami infeksi nosokomial.
Kreteria:
• Tidak ada tanda – tanda infeksi.
• Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu,
• bebas drainage purulen atau eritema, dan demam.
• Implementasikan tindakan untuk mencegah infeksi:
- Rawat luka dengan teknik steril
- Tingkatkan intake cairan 2-3 liter/hari
- Tingkatan nutrisi dengan diet TKTP
- Gunakan pelunak feses bila terdapat konstipasi.

• Berikan antibiotika sesuai program medis.

• Pantau tanda-tanda radang: panas, merah, bengkak, nyeri, kekakuan.
PERAWATAN LUKA
A. Definisi
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.
a). Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
b). Mekanisme terjadinya luka :
1. Luka insisi (incised wounds)
Terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (ligasi)
2. Luka memar (contusion wound)
Terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lecet (abraded wound)
Terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4. Luka tusuk (punctured wound)
Terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (lacerated wound)
Terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6. luka tembus (penetrating wound)
Yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7. Luka bakar (combustio)

c). Menurut tingkat kontaminasi terhadap luka :
1. Clean wounds (luka bersih)
Luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; jackson – pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
2. Clean-contamined wounds (luka bersih terkontaminasi)
Merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
3. Contamined wounds (luka terkontaminasi)
Termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
4. Dirty or infected wounds (luka kotor atau infeksi)
Terdapatnya mikroorganisme pada luka.
d). Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :
1. Stadium I : luka superfisial (“non-blanching erithema)
Luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

2. Stadium II : luka “partial thickness”
Hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

3. Stadium III : luka “full thickness”
Hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

4. Stadium IV : luka “full thickness”
Yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
e). Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :
1. Luka akut :
Luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
2. Luka kronis
Luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

B. Proses penyembuhan luka
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function).
Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase :
1. Fase inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan “substansi vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
2. Fase proliferative
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
3. Fase maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus).
C. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
1. Usia
Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan
2. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
3. Hipovolemia
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.

5. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“pus”).
6. Iskemia
Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
7. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
8. Pengobatan
 Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.
 Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
 Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.

D. Komplikasi dari luka
a. Hematoma (hemorrhage)
Perawat harus mengetahui lokasi insisi pada pasien, sehingga balutan dapat diinspeksi terhadap perdarahan dalam interval 24 jam pertama setelah pembedahan.
b. Infeksi (wounds sepsis)
Merupakan infeksi luka yang sering timbul akibat infeksi nosokomial di rumah sakit. Proses peradangan biasanya muncul dalam 36 – 48 jam, denyut nadi dan temperatur tubuh pasien biasanya meningkat, sel darah putih meningkat, luka biasanya menjadi bengkak, hangat dan nyeri.
Jenis infeksi yang mungkin timbul antara lain :
- Cellulitis merupakan infeksi bakteri pada jaringan
- Abses, merupakan infeksi bakteri terlokalisasi yang ditandai oleh : terkumpulnya pus (bakteri, jaringan nekrotik, sel darah putih).
- Lymphangitis, yaitu infeksi lanjutan dari selulitis atau abses yang menuju ke sistem limphatik. Hal ini dapat diatasi dengan istirahat dan antibiotik.
c. Dehiscence dan eviscerasi
Dehiscence adalah rusaknya luka bedah
Eviscerasi merupakan keluarnya isi dari dalam luka
d. Keloid
Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.

D. Nursing management
Tujuan :
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi drainase
3. Menekan dan imobilisasi luka
4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
8. Mencegah terjadinya infeksi.
9. Mempercepat proses penyembuhan luka.
Persiapan
a. Alat
- Set perawatan luka
• Plaster
• Gunting perban
• Bengkok
• Larutan NaCl
• Perlak dan alas
• Betadine
• Korentang
• Alcohol 70%
• Kapas balitan dan sarung tangan bersih.
b. Lingkungan
- Menutup tirai / jendela.
- Merapikan tempat tidur.

c. Pelaksanaan
- Mengatur posisi sesuai dengan kenyamanan pasien.
- Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.

d. Prosedur Pelaksanaan
- Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah perawatan luka.
- Dekatkan semua peralatan yang diperlukan.
- Letakkan bengkok dekat pasien.
- Tutup ruangan / tirai di sekitar tempat tidur.
- Bantu klien pada posisi nyaman.
- Cuci tangan secara menyeluruh dengan tekhnik aseptic.
- Pasang perlak dan alas.
- Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester. Angkat balutan dengan pinset.
- Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan.
- Dengan sarung tangan/pinset, angkat balutan.
- Bila balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan NaCl.
- Observasi karakter dan jumlah drainase.
- Buang balutan kotor pada bengkok, lepaskan sarung tangan dan buang pada bengkok yang berisi Clorin 5%.
- Buka bak instrumen, siapkan betadin dan larutan NaCl pada kom, siapkan plester, siapkan depres.
- Kenakan sarung tangan steril.
- Inspeksi luka, perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan dan karakter drainase serta palpasi luka (kalau perlu).
- Bersihkan luka dengan larutan NaCl dan betadin dengan menggunkan pinset. Gunakan satu kasa untuk setiap kali usapan. Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi ke area yang terkontaminasi. Gunakan dalam tekanan progresif menjauh dari insisi/tepi luka.
- Gunakan kasa baru untuk mengeringkan luka/insisi. Usap dengan cara seperti pada langkah di atas.
- Olesi luka dengan betadin.
- Menutup luka dengan kasa steril dan di plester.
- Merapikan pasien.
- Membersihkan alat-alat dan mengembalikan pada tempatnya.
- Melepaskan sarung tangan.
- Perawat mencuci tangan.
e. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan
1. Pengangkatan balutan dan pemasangan kembali balutan dapat menyebabkan pasien terasa nyeri.
2. Cermat dalam menjaga kesterilan.
3. Peka terhadap privasi klien.


DAFTAR PUSTAKA

1. Burfeind, Daniel B. WOUND CARE UPDATE; Copyright Anthony J. Jannetti, Inc. Feb 2007. Dermatology Nursing. Pitman: Feb 2007. Vol. 19, Iss. 1; pg. 93, 1 pgs.
2. Ritin Fernandez, Rhonda Griffiths, Cheryl Ussia (2002). The Effectiveness of Solutions, Techniques and Pressure in Wound Cleansing. The Joanna Briggs Institute for Evidence Based Nursing & Midwifery. Australia.
3. Madelaine Flanagan, Managing Chronic Wound Pain in Primary Care. Practice Nursing; Jun 23, 2006; 31, 12; ABI/INFORM Trade & Industry.
4. http://www.podiatrytoday.com/article/1894.
5. Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo Park, Calofornia.
6. JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Rabu, 10 November 2010

PENGGUNAAN FENITOIN PADA EPILEPSI

Epilepsi adalah sebuah kondisi otak yang dicirikan dengan kerentanan untuk kejang berulang (peristiwa serangan berat, dihubungkan dengan ketidaknormalan pengeluaran elektrik dari neuron pada otak).

Kejang merupakan manifestasi abnormalitas kelistrikan pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, tingkah laku. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala, encephalitis (radang otak), obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum-kena kulit kepala-trauma), penghentian obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia, idiopatik. Sebagian kecil disebabkan oleh penyakit menurun. Kejang yang disebabkan oleh meningitis disembuhkan dengan obat anti epilepsi, walaupun mereka tidak dianggap epilepsi.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), kejang dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok utama yaitu kejang parsial (Partial seizures) dan kejang keseluruhan (Generalized seizures). Kejang sebagian dibagi lagi menjadi kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks. Sedangkan kejang keseluruhan dikelompokkan menjadi petit mal seizures (Absence seizures); atypical absences; myoclonic seizures; tonic clonic (grand mal) seizures; tonic, clonic, atonic seizures.

Mekanisme terjadinya serangan epilepsi (kejang) adalah karena adanya sekelompok neuron yang mudah terangsang membentuk suatu satuan epileptik fungsional yang disebut fokus. Adanya muatan yang bersama-sama memasuki neuron-neuron tersebut menyebabkan terjadinya sinkronisasi. Sinkronisasi meupakan syarat terjadinya serangan. Jika banyak terjadi sinkronisasi (hipersinkronisasi) maka akan terjadi penyebaran rangsangan ke daerah-daerah lain di otak, akibatnya terjadi kejang.

TUJUAN DAN STRATEGI TERAPI
Sasaran terapi pada epilepsi yaitu menstabilkan membran saraf dan mengurangi aktifitas kejang dengan meningkatkan pengeluaran atau mengurangi pemasukan ion Na+ yang melewati membran sel pada kortek selama pembangkitan impuls saraf. Tujuan terapinya yaitu membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat menunaikan tugasnya tanpa adanya gangguan.
Strategi terapi untuk epilepsi yaitu:
1) menggunakan terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.
Terapi non farmakologi bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal nerve stimulation (VNS):
- implantasi dari perangsang saraf vagal,
makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi),
istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya.
2) Sedangkan untuk terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE).
Pengobatan dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat dikontrol atau tejadi efek kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang tonik-klonik rata-rata keberhasilan lebih tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat.
Pada sebagian besar pasien dengan 1 tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan dapat dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2 macam obat mungkin ke depannya mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih besar. Pengobatan dengan lebih dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau pasien mengalami tipe kejang yang berbeda.


OBAT PILIHAN
Obat pilihannya yaitu Fenitoin.
Nama generik: Phenytoin kapsul 100 mg; 300 mg.
Nama dagang:
• Dilantin®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg; cairan injeksi 50mg/ml
• Ikaphen®, kapsul 100 mg; injeksi 50 mg/ml.
• Kutoin-100®, kapsul 100 mg; ampul 100 mg/2 ml
• Movileps®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg
• Phenilep® , kapsul 100 mg
• Phenytoin Ikapharmindo®, kapsul 100 mg; ampul 200 mg/2 ml
• Zentropil®, kapsul 100 mg

Indikasi:
Semua jenis epilepsi, kecuali petit mal; status epileptikus; trigeminal neuralgia jika karbamazepin tidak tepat digunakan.
Kontra-indikasi:
- Gangguan hati,
- hamil,
- menyusui,
- penghentian obat mendadak; hindari pada porfitia.
Dosis:
Status epileptikus: i.v:
Bayi dan anak: dosis awal 15-20 mg/kg pada dosis tunggal atau dosis terbagi; dosis pemeliharaan: awal: 5 mg/kg/hari pada 2 dosis terbagi; dosis biasa:
- 5 bulan-tahun: 8-10 mg/kg/hari
- 4-6 tahun: 7,5-9 mg/kg/hari
- 7-9 tahun: 7-8 mg/kg/hari
- 10-16 tahun: 6-7 mg/kg/hari, beberapa pasien mungkin membutuhkan setiap 8 jam.
Dewasa:dosis awal:15-25 mg/kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari pada 3 dosis terbagi atau 1-2 dosis terbagi untuk pelepasan bertahap.
Antikonvulsi: anak-anak dan dewasa: oral
Dosis awal: 15-20 mg/kg; tergantung pada konsentrasi serum fenitoin dan riwayat dosis sebelumnya. Pemberian dosis awal oral pada 3 dosis terbagi diberikan setiap 2-4 jam untuk mengurangi efek yang tidak dinginkan pada saluran pencernaan dan meyakinkan bahwa dosis oral terabsorpsi sepenuhnya.; dosis pemeliharaan sama seperti i.v
Pembedahan saraf (profilaksis):
100-200 mg pada kira-kira interval 4 jam selama pembedahan dan selama periode setelah pembedahan.
Penyesuaian dosis pada kerusakan ginjal atau penyakit hepar: aman pada dosis biasanya untuk penyakit hepar ringan. Level fenitoin bebas harus dimonitor.
Efek samping:
Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia, neuropati perifer, hipertrofi gingiva, ataksia, bicara tak jelas, nistagmus, penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam, hepatitis, lupus eritematosus, eritema multiform, efek hematologik (leukopenia,trombositopenia, agranulositosis).

Resiko khusus:
Hamil dan menyusui. Selama kehamilan, kadar plasma total obat antiepilepsi (terutama fenitoin) menurun, tapi kadar obat bebas dalam plasma tetap sama. Terdapat kenaikan resiko teratogenik pada penggunaan obat antiepilepsi. Karena itu perlu dilakukan pemantauan oleh spesialis terkait. Dianjurkan untuk memberi asam folat 5 mg/hari untuk mengantisipasi terjadinya kelainan neural tube. Untuk mengantisipasi terjadinya pendarahan neonatal, yang berkaitan dengan pemberian fenitoin, dapat diberi vitamin K pada ibunya. Ibu yang menyusui dapat terus mendapat obat antiepilepsi, dengan perhatian khusus.

LAMOTRIGIN

LAMOTRIGIn


Sedia’an obat
Lamotrigin Actavis tablet 25 mg.
Lamotrigin Actavis tablet 50 mg.
Lamotrigin Actavis 100 mg tablet.
Lamotrigin Actavis tablet 200 mg.


Kualitatif Dan Kuantitatif Komposisi
Setiap Lamotrigin Actavis tablet 25 mg mengandung 25 lamotrigin mg.
Exipient: Tiap tablet mengandung 0,68 mg laktosa.
Setiap Lamotrigin Actavis tablet 50 mg mengandung 50 lamotrigin mg.
Exipient: Tiap tablet mengandung 1,36 mg laktosa.
Setiap Lamotrigin Actavis 100 tablet 100 mg mengandung lamotrigin mg.
Exipient: Tiap tablet mengandung 2,72 mg laktosa.
Setiap Lamotrigin Actavis tablet 200 mg berisi 200 lamotrigin mg.
Exipient: Tiap tablet mengandung 5,44 mg laktosa.

Farmasi Formulir

Tablet.
25 mg tablet:
Cahaya kuning, bulat, datar, ditandai 25 dan memiliki diameter 6 mm.
Tablet 50 mg: Cahaya kuning, bulat, datar, ditandai 50 dan memiliki diameter 8 mm. Tablet 100 mg: Cahaya kuning, bulat, datar, ditandai 100 dan memiliki diameter 10 mm.
Tablet 200 mg: Cahaya kuning, bulat, datar, ditandai 200 dan memiliki diameter 12,5 mm.


Indikasi
Epilepsi
1) Dewasa dan remaja berusia 13 tahun ke atas
- Ajuvan atau monoterapi pengobatan kejang parsial dan kejang umum, termasuk kejang tonik-klonik.
- Kejang yang terkait dengan sindrom Lennox-Gastaut. Lamotrigin Actavis diberikan sebagai terapi tambahan tetapi mungkin obat antiepilepsi awal (AED) untuk memulai dengan pada sindrom Lennox-Gastaut.

2) Anak-anak dan remaja berusia 2 sampai 12 tahun
- Pengobatan ajuvan kejang parsial dan kejang umum, termasuk kejang tonik-klonik dan kejang yang terkait dengan sindrom Lennox-Gastaut.
- Monoterapi kejang tidak khas.

Bipolar disorder

3) Orang dewasa berusia 18 tahun ke atas
- Pencegahan episode depresi pada pasien dengan gangguan bipolar saya yang mengalami didominasi episode depresif.
- Lamotrigin Actavis tidak diindikasikan untuk pengobatan manic episode akut atau depresi.


Farmakokinetik
dari lamotrigin mengikuti kinetika orde satu, dengan paruh sebesar 13,5 jam dan volume distribusi 1.36l/kg Lamotrigin memiliki interaksi obat lebih sedikit daripada banyak anticonvulsant obat-obatan, meskipun interaksi farmakokinetik dengan Natrium valproate dan merangsang enzim obat lain dapat mempersingkat waktu paruh . Dosis penyesuaian harus dilakukan pada respon klinis, tetapi pemantauan mungkin bermanfaat dalam menilai kepatuhan.



Cara Pengguna’an
Lamotrigin Actavis tablet harus ditelan utuh, dan tidak boleh dikunyah atau dihancurkan. Jika dosis dihitung lamotrigin (misalnya untuk pengobatan anak-anak dengan epilepsi atau pasien dengan gangguan hati) tidak sama dengan tablet utuh, dosis yang akan diberikan adalah sama dengan jumlah keseluruhan lebih rendah dari tablet.
Restart terapi Resep harus menilai kebutuhan eskalasi untuk dosis pemeliharaan ketika restart Lamotrigin Actavis pada pasien yang telah dihentikan Lamotrigin Actavis dengan alasan apapun, karena resiko ruam yang serius berkaitan dengan dosis awal yang tinggi dan melebihi eskalasi dosis yang dianjurkan untuk lamotrigin. Semakin besar interval waktu sejak dosis sebelumnya, lebih banyak pertimbangan harus diberikan untuk eskalasi ke dosis pemeliharaan. Ketika interval sejak penghentian lamotrigin melebihi lima setengah-hidup , Lamotrigin Actavis umumnya harus meningkat ke dosis pemeliharaan sesuai dengan jadwal yang tepat. Disarankan bahwa Lamotrigin Actavis tidak restart pada pasien yang telah dihentikan karena ruam yang berhubungan dengan pengobatan sebelumnya dengan lamotrigin kecuali potensi manfaat jelas melampaui risiko.

Epilepsi

Peningkatan dosis dan pemeliharaan dosis untuk orang dewasa dan remaja berusia 13 tahun ke atas dan untuk anak-anak dan remaja usia 2 sampai 12 tahun diberikan di bawah ini. Karena risiko ruam dosis awal dan dosis eskalasi selanjutnya tidak boleh terlewati
Ketika AED bersamaan ditarik atau AED lain / produk obat yang ditambahkan pada terhadap pengobatan yang mengandung lamotrigin, pertimbangan harus diberikan untuk efek ini mungkin pada farmakokinetik lamotrigin.
Dosis pemeliharaan biasa Monoterapi:
25 mg / hari (sekali sehari)
50 mg / hari (sekali sehari)
100-200 mg / hari (Sekali sehari atau dua dosis terbagi)

Untuk mencapai pemeliharaan, dosis dapat ditingkatkan dengan maksimal 50 - 100 mg setiap satu hingga dua minggu sampai respon optimal dicapai
500 mg / hari telah diperlukan oleh beberapa pasien untuk mencapai yang diinginkan respon Adjunctive terapi DENGAN valproate (inhibitor glucuronidation lamotrigin
Regimen dosis ini harus digunakan dengan valproate terlepas dari setiap produk obat secara bersamaan 12,5 mg / hari (diberikan 25 mg pada hari alternatif)
- 25 mg / hari (sekali sehari)
- 100-200 mg / hari (Sekali sehari atau dua dosis terbagi)
Untuk mencapai pemeliharaan, dosis dapat ditingkatkan dengan maksimal
25-50 mg tiap satu sampai dua minggu sampai respon optimal dicapai
Adjunctive terapi TANPA valproate dan DENGAN induser dari glucuronidation lamotrigin.
Mekanisme kerja
Salah satu mekanisme yang diusulkan tindakan untuk lamotrigin melibatkan efek pada saluran sodium, [16] meskipun ini tetap akan didirikan pada manusia. Dalam studi vitro lamotrigin farmakologi menunjukkan bahwa tegangan-sensitif menghambat saluran natrium , sehingga menstabilkan membran neuronal dan akibatnya modulasi pemancar rilis presynaptic asam amino rangsang (misalnya glutamat dan aspartat ).
Peran perawat


Dalam pemberian obat-obatan neuro di lapangan pada pasien, penting sekali memperhatikan enam benar pemberian obat, yaitu;
1. Benar nama pasien
2. Benar nama obat
3. Benar dosis obat yang aka diberikan
4. Benar waktu pamberian
5. Benar cara pemberian dan
6. Benar mendokumentasikan


Hal ini sangat penting selalu diingatkan atau dikontrol ulang pada saat obat akan diberikan pada pasien, baik obat yang diberikan secara oral maupun obat yag diberikan secara pareteral. Kondisi- kondisi yang memungkinkan salah dalam memberikan obat adalah :
salah nama,
karena dalam ruang perawatan tersebut terdapat nama pasien yang sama, hal ini sering merupakan kelalaian petugas, baik tenaga medis maupun perawat, namun sebetulnya walau nama pasien sama tetapi identitas pasien yang
lain seperti nomor register, usia dan kamar atau alamat pasien tetap berbeda.
Salah nama obat, hal ini dapat terjadi pada saat penulisan resep oleh tenaga medis, karena ada beberapa dokter yang cenderung mempunyai pasien lebih dari satu pada bangsal tersebut dan penulisan resep tidak dilakukan pada saat
memeriksa pasiennya, tetapi menulis resep di tempat lain setelah memeriksa seluruh pasien.
Tidak tepat dosis,
waktu dan cara memberikan obat, tak jarang obat yang harusnya diberikan sesuai dosis dan waktu yang ditentukan, namun karena kelalaian dan kekurang trampilan dari perawat dalam pengaturan waktu serta terbatasnya dana pasien , sering menjadi mundur dosis dan waktu pemberiannya.
Dokumentasi tidak tepat, hal yang masih ditemui di lapangan tidak lengkap dalam menuliskan apa yang sudah dikerjakan pada pasien sebagai dasar kekuatan hukum bagi seorang perawat, bila terjadi hal-hal dikemudian hari, seharusnya
pada saat dokumentasi ditulis secara rinci jenis obat, berapa dosis, cara dan waktu saat pemberian , serta reaksi bila ada setelah pemberian obat tersebut pada status rawat pasien dan harus tercantum siapa nama petugas yang memberikan berikut
paraf atau tanda tangan.
Perawat harus memperhatikan hal berikut :
• Interpretasikan dengan tepat resep obat yang dibutuhkan
• Hitung dengan tepat dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan resep
• Gunakan prosedur yang sesuai dan aman, ingat prinsip 5 benar dalam pengobatan
• Setelah memvalidasi dan menghitung dosis obat dengan benar, pemberian obat dengan akurat dapat dilakukan berdasarkan prinsip 5 benar.

TOPIRAMATE

EPILEPSI Epilepsi, menurut dr. Mohamad Saekhu, SpBS, dari Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM Jakarta, terjadi akibat tidak normalnya aktivitas listrik di otak.
Hal ini menyebabkan kejang dan perubahan perilaku dan hilangnya kesadaran.
Tanda-tandanya
bisa berupa kehilangan kesadaran untuk waktu tertentu, kejang, lidah menjulur, keluar air liur, gemetar atau tiba-tiba black out.
Ada dua jenis epilepsi yang dikenal,
yaitu epilepsi umum,
berupa hilangnya kesadaran, kejang seluruh tubuh hingga mengeluarkan air liur berbusa dan napas mengorok, serta terjadi kontraksi otot yang mengakibatkan pasien mendadak jatuh atau melemparkan benda yang tengah dipegangnya.
Selain itu dikenal epilepsi parsial yang ditunjukkan oleh rasa kesemutan atau rasa kenal pada satu tempat yang berlangsung beberapa menit atau jam. Bisa juga, rasa seperti bermimpi, daya ingat terganggu, halusinasi, atau kosong pikiran. Seringkali diikuti mengulang-ulang ucapan, melamun, dan berlari-lari tanpa tujuan. Sebagian besar penderita epilepsi terjadi karena faktor keturunan. Anak yang lahir dari keluarga penderita epilepsi, cenderung menderita epilepsi juga. Selain itu, epilepsi juga bisa disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang mengganggu fungsi otak.

"Epilepsi bisa terjadi karena kelainan bentukan otak (kongenital), infeksi penyakit yang menyebabkan radang otak, adanya tumor di otak, step berulang, gangguan metabolisme, serta ada yang tidak diketahui penyebabnya," kata dr.Saekhu. Penderita epilepsi sebagian besar memang anak-anak, namun epilepsi juga bisa muncul di usia dewasa. Menurut dr.Hanif Tobing, ahli bedah saraf dari FKUI/RSCM, kasus

epilepsi pada orang dewasa biasanya terjadi karena infeksi atau trauma di kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan memar otak. Bebas kejang Menurut dr.Saekhu, obat-obatan yang diberikan pada pasien epilepsi tidak langsung menyembuhkan epilepsi, tapi hanya bersifat mengendalikan atau menjarangkan serangan, bahkan menghilangkannya. "Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah bebas kejang," paparnya. Seorang penyandang epilepsi umumnya memerlukan obat sampai tidak dijumpai lagi serangan dalam jarak waktu tertentu, tergantung dari tipe epilepsi, riwayat epilepsi masa lalu, dan hasil rekaman listrik otak. Tindakan operasi bisa dilakukan jika pengobatan yang diberikan pada pasien tidak mengurangi keluhan epilepsi.
"Di RSCM, tindakan operasi bisa dilakukan jika pemeriksaan MRI menunjukkan ada glioma atau jenis tumor jinak," imbuh dr.Hanafi. Meski sudah dilakukan operasi, namun pasien epilepsi tetap wajib mengonsumsi obat anti kejang. Yang penting diketahui orangtua, epilepsi tidak selalu mengakibatkan kemunduran kecerdasan pada penderita. Anak juga bisa bisa beraktivitas dengan normal seperti anak sehat lainnya asalkan tetap teratur mengonsumsi obat.





Struktur Topiramate

Topiramate merupakan monosakarida tersubstitusi yang strukturnya berbeda dari semua obat antikejang lainnya.
Formula empiris topiramate adalah C12H21NO8S.

Menurut Porter dkk (2001) Berat molekul 339,36. Topiramate berbentuk serbuk kristal putih yang berasa pahit.8 Topiramate paling cepat larut dalam larutan alkaline yang mengandung sodium hydroxyde atau sodium phosphate dan mempunyai pH 9 sampai 10. Topiramate tersedia dalam bentuk tablet dan sprinkle yang bisa dicampur dengan makanan atau minuman. Tersedia Dosis Bentuk:
• Tablet Tablet
• Capsule Kapsul
Therapeutic Class: Anticonvulsant
Terapi Kelas: anticonvulsant Chemical
Class: Fructopyranose Sulfamate Kimia Kelas: Sulfamate Fructopyranose

Kontra indikasi Kehadiran masalah medis lain dapat mempengaruhi penggunaan topiramate.
Kehadiran Masalah Medis lain dapat mempengaruhi penggunaan topiramate.
Pastikan Anda memberitahukan dokter jika Anda memiliki masalah medis lainnya, terutama:
Pastikan Andari Andari Dokter memberitahukan jika memiliki Masalah Medis Lainnya, terutama:
• Bone masalah (misalnya, osteoporosis) atau Masalah Bone (misalnya, osteoporosis) • Depresi, sejarah atau depresi, atau Riwayat
• Eye atau masalah penglihatan (misalnya glaukoma) atau Mata penglihatan atau gangguan (misalnya glaukoma)
• Metabolic acidosis (terlalu banyak asam dalam darah), sejarah-Gunakan dengan hati-hati. Asidosis metabolik (BANYAK asam Darah KESAWAN Terlalu), hati Artikel Baru Sejarah-Gunakan-hati Mungkin membuat kondisi lebih buruk. Mungkin Buruk Membuat lebih kondisi.
• gangguan metabolisme kongenital (lahir dengan penyakit yang mempengaruhi metabolisme)-Gunakan dengan hati-hati. gangguan metabolisme kongenital (penyakit Artikel Baru Lahir Yang mempengaruhi metabolisme) hati Artikel Baru-Gunakan-hati.
Dapat meningkatkan risiko efek samping yang lebih serius.
• Dapat meningkatkan risiko Efek Samping
• Diare atau Diare atau
• ketogenic diet (tinggi lemak, rendah protein, diet rendah karbohidrat) atau diet ketogenic (Tinggi Lemak, rendah protein, diet karbohidrat rendah) atau • Masalah ginjal atau atau Masalah Ginjal
• Paru gangguan pernafasan penyakit atau lainnya atau Penyakit atau Masalah atau paru-paru pernapasan lain
• Status epilepticus (misalnya, keadaan epilepsi di mana Anda memiliki banyak kejang berturut-turut dan tidak mendapatkan kesadaran) atau epilepticus Status (misalnya, keadaan epilepsi di mana Andari memiliki BANYAK kejang dan kesadaran regular tidak berturut-turut mendapatkan) atau
• Pembedahan-Masalah-masalah ini dapat membuat suatu kondisi yang disebut asidosis metabolik terjadi atau membuatnya lebih buruk
. Pembedahan Suami-Masalah-Masalah dapat kondisi suatu Membuat Yang disebut asidosis metabolik terjadi atau membuatnya lebih Buruk.
• Penyakit ginjal atau atau Penyakit ginjal
• Penyakit hati-Gunakan dengan hati-hati. Artikel Baru Penyakit hati hati-Gunakan-hati
. tingkat darah lebih tinggi dapat mengakibatkan topiramate dan meningkatkan kemungkinan efek samping.
Darah Tinggi tingkat lebih dapat mengakibatkan topiramate dan meningkatkan kemungkinan Efek Samping.
Farmakokinetika Potter dkk (2001) melaporkan topiramate diabsorpsi dengan cepat (sekitar dua jam) dan biovailabilitas sekitar 80%.

Tidak ada efek makanan terhadap absorpsi, ikatan dengan protein plasma adalah minimal (15%) dan metabolismenya hanya tingkat menengah (20-50%) ; tidak terbentuk metabolit aktif. Obat ini sebagian besar diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urine. Waktu-paruhnya sekitar 20-30 jam. Meskipun peningkatan kadar di dalam darah terlihat pada gagal ginjal dan gangguan hati, tidak ada efek jenis kelamin atau umur, tidak ada otoinduksi, tidak ada inhibisi metabolisme, dan kinetikanya bersifat linier. Interaksi obat terjadi dan dapat menjadi komplek, tetapi efek utamanya adalah terhadap kadar topiramate daripada terhadap kadar obat antikejang lainnya Topiramate sebagai terapi tambahan Elterman dkk (1999) telah melakukan penelitian terhadap efikasi topiramate 6 mg/kgBB/hari pada anak (usia 2 sampai 16 tahun) sebagai terapi tambahan untuk pasien dengan kejang parsial yang tidak terkontrol pada suatu percobaan multisenter, acak, plasebo-kontrol, buta ganda. Hasil penelitian menunjukkan pasien yang diterapi topiramate mempunyai median persentase reduksi kejang yang lebih besar daripada plasebo. Hasil penelitian ini menyimpulkan topiramate aman dan efektif untuk terapi tambahan kejang parsial pada anak.9 Topiramate efektif untuk terapi tambahan untuk kejang parsial pada dewasa. Biton dkk (1999) melaporkan efikasi dan keamanan topiramate sebagai terapi tambahan untuk kejang tonik-klonik umum dalam penelitian acak, terkontrol, buta ganda pada dewasa dan anak-anak. Latar belakang obat yang dipakai diantaranya adalah asam valproat, phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, phenobarbital, clonazepam, gabapentin dan primidone. Hasil penelitian selama 20 minggu menunjukkan persentase median reduksi dari dasar adalah 56,7% untuk pasien dengan topiramate dan 9% untuk plasebo. Proporsi dari pasien dengan reduksi kejang tonik-klonik umum sebesar 50% atau lebih pada kejang tonik-klonik umum 56% pada topiramate dan 20% pada plasebo. Hal ini membuktikan topiramate cukup baik ditoleransi dan efektif sebagai terapi tambahan untuk kejang tonik-klonik umum pada anak-anak dan dewasa.10 Mikaeloff dkk (2003) melaporkan efikasi dan tolerabilitas topiramate sebagai terapi tambahan pada anak kurang dari 12 tahun dengan epilepsi refrakter sesuai sindrom epilepsi pada suatu penelitian prospektif multisenter. Topiramate efektif pada 50% pasien dari 128 pasien dengan epilepsi parsial dan 44% pada 79 pasien dengan epillepsi general. Pada anak kurang dari 4 tahun, topiramate mempunyai tolerabilitas yang baik. Penelitian Mikaeloff menyimpulkan topiramate efektif dan ditoleransi dengan baik pada anak usia kurang dari 12 tahun pada epilepsi sindrom spektrum luas mencakup epilepsi parsial refrakter dan epilepsi general. Topiramate pada status epileptikus refrakter Menurut Meyer dkk (2002) status epileptikus refrakter didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit walaupun telah mendapat pengobatan dengan benzodiazepin dan obat anti kejang standar intravena dosis tinggi yang adekuat atau aktivitas kejang yang persisten setelah mendapat obat anti kejang yang sesuai.12 Appleton dkk (2000) menyatakan sampai saat ini tidak algoritme khusus untuk pengobatan status epileptikus refrakter pada anak.13 Pendekatan telah didasarkan pada pengalaman klinis dan publikasi-publikasi ilmiah yang sedikit. Studi pada dewasa menurut Towne dkk (2003) topiramate dilaporkan efektif untuk penderita status epileptikus refrakter.14 Dua laporan sebelumnya, satu dengan kasus tunggal dan kasus lain berupa laporan seri 6 pasien menunjukkan topiramate cukup efektif pada pasein dewasa dengan status epileptikus refrakter. Kahriman dkk (2003) melaporkan efikasi topiramate pada anak-anak dengan status epileptikus. Hasil penelitian pada 3 kasus dengan penyakit dasar yang berbeda menunjukkan potensial efikasi dari topiramate pada status epileptikus refrakter.15 Topiramate pada sindrom Lennox-Gastaut Sachdeo dkk (1999) mengemukakan sindrom Lennox-Gastaut adalah sindrom epilepsi berat yang mempunyai karakterisktik tipe kejang yang multipel dan pola EEG yang spesifik. Regresi atau mental retardasi sering terjadi. Sejumlah tipe kejang sering bermanifestasi sebagai tonik, atonik dan kejang absen. Sindrom Lennox-Gastaut biasanya terjadi pada usia 1 sampai 8 tahun. Prognosis biasanya buruk dengan deteriorisasi fungsi mental dan frekuensi kejang yang cukup sering.16 Obat anti epilepsi konvensional banyak yang tidak efektif melawan kejang multipel yang terlihat pada sindrom Lennox-Gastaut. Dua macam anti epilepsi baru felbamate dan lamotrigine, telah menunjukkan efikasi untuk terapi sindrom ini, tetapi mempunyai efek samping yang cukup serius. Karena itu, masih dibutuhkan obat anti epilepsi yang mempunyai kapabilitas mengontrol kejang yang berhubungan dengan sindrom Lennox-Gastaut.17 Sachdeo dkk (1999) melaporkan evaluasi dan efikasi dari topiramate sebagai terapi tambahan pada sindrom Lennox-Gastaut pada suatu penelitian terkontrol, multisenter, buta ganda. Hasil penelitian menunjukkan topiramate sebagai terapi tambahan efektif menurunkan jumlah drop attacks dan serangan kejang mayor dan memperbaiki derajat kegawatan. Pilihan terapi pada sindrom ini terbatas, penurunan frekuensi dari drop attacks yang dipicu oleh topiramate, tanpa toksisitas yang signifikan, mengindikasikan bahwa topiramate merupakan tambahan yang penting untuk penatalaksanaan sindrom Lennox-Gastaut.15 Guerreiro dkk (1999) telah melakukan penelitian topiramate sebagai terapi tambahan untuk sindrom Lennox-Gastaut dengan mengevaluasi efikasi jangka panjang, keamanan, kualitas hidup penderita pada penggunaan jangka panjang topiramate. Hasil penelitian menyimpulkan topiramate berguna sebagai terapi tambahan untuk terapi sindrom Lennox-Gastaut. Efikasi topiramate pada terapi jangka panjang dipertahankan pada lebih dari 40 pasien, keamanan jangka panjang telah dikonfirmasi dan kualitas hidup penderita meningkat. Topiramate pada sindrom Angelman Menurut Jiang dkk (1999) sindrom Angelman adalah penyakit neuro-genetik yang ditandai dengan gangguan perkembangan, kelainan bicara, kelainan tingkah laku dan kejang dengan pola EEG yang abnormal. Kejadian di Amerika Serikat kurang lebih 1: 15000 populasi.19. Kejang terjadi pada 80% penderita dan meliputi semua tipe kejang terutama absens, mioklonik, atonik, tonik dan tonik-klonik. Nolt dkk (2003) mengemukakan obat anti kejang yang paling sesuai untuk sindrom Angelman masih dalam perdebatan. Franz dkk (2000) melaporkan 5 anak dengan sindrom Angelman yang telah diterapi dengan topiramate. Hasil penelitian menunjukkan topiramate efektif dan ditoleransi dengan baik karena efek GABA-ergik. Penelitian lebih jauh diperlukan untuk konfirmasi observasi. Efek samping topiramate Gilliam dkk (2003) melaporkan efek samping yang cukup sering berhubungan dengan kelainan sistem saraf diantaranya yakni parestesia. Kejadian batu ginjal lebih banyak terjadi pada dewasa dibanding anak-anak. Tidak ada tanda idiosinkrasi toksisitas organ jangka panjang atau pendek yang dievaluasi dari penggunaan topiramate. Privitera dkk (2003) dalam penelitiannya melaporkan profil efek samping utama pada pasien yang diterapi topiramate adalah parestesia. Studi ini juga melaporkan keluhan kognitif cenderung untuk dose-related dan terjadi lebih sedikit pada monoterapi, selain itu topiramate tidak berefek pada pertumbuhan. Menurut Gilliam dkk (2003) kebanyakan efek samping cenderung menghilang setelah topiramate ditoleransi dengan baik. Tabel 3 Efek samping terbanyak selama terapi tambahan dengan topiramate Topiramate sebagai obat atiepilepsi baru dengan mekanime kerja luas dan efek samping minimal, dapat direkomendasikan sebagai terapi tambahan epilepsi pada anak. Peran perawat Dalam pemberian obat-obatan neuro di lapangan pada pasien, penting sekali memperhatikan enam benar pemberian obat, yaitu; 1. Benar nama pasien 2. Benar nama obat 3. Benar dosis obat yang aka diberikan 4. Benar waktu pamberian 5. Benar cara pemberian dan 6. Benar mendokumentasikan Hal ini sangat penting selalu diingatkan atau dikontrol ulang pada saat obat akan diberikan pada pasien, baik obat yang diberikan secara oral maupun obat yag diberikan secara pareteral. Kondisi- kondisi yang memungkinkan salah dalam memberikan obat adalah :
 salah nama,
karena dalam ruang perawatan tersebut terdapat nama pasien yang sama, hal ini sering merupakan kelalaian petugas, baik tenaga medis maupun perawat, namun sebetulnya walau nama pasien sama tetapi identitas pasien yang lain seperti nomor register, usia dan kamar atau alamat pasien tetap berbeda. Salah nama obat, hal ini dapat terjadi pada saat penulisan resep oleh tenaga medis, karena ada beberapa dokter yang cenderung mempunyai pasien lebih dari satu pada bangsal tersebut dan penulisan resep tidak dilakukan pada saat memeriksa pasiennya, tetapi menulis resep di tempat lain setelah memeriksa seluruh pasien.
 Tidak tepat dosis,
waktu dan cara memberikan obat, tak jarang obat yang harusnya diberikan sesuai dosis dan waktu yang ditentukan, namun karena kelalaian dan kekurang trampilan dari perawat dalam pengaturan waktu serta terbatasnya dana pasien , sering menjadi mundur dosis dan waktu pemberiannya. Dokumentasi tidak tepat, hal yang masih ditemui di lapangan tidak lengkap dalam menuliskan apa yang sudah dikerjakan pada pasien sebagai dasar kekuatan hukum bagi seorang perawat, bila terjadi hal-hal dikemudian hari, seharusnya pada saat dokumentasi ditulis secara rinci jenis obat, berapa dosis, cara dan waktu saat pemberian , serta reaksi bila ada setelah pemberian obat tersebut pada status rawat pasien dan harus tercantum siapa nama petugas yang memberikan berikut paraf atau tanda tangan. Perawat harus memperhatikan hal berikut:

• Interpretasikan dengan tepat resep obat yang dibutuhkan
• Hitung dengan tepat dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan resep
• Gunakan prosedur yang sesuai dan aman, ingat prinsip 5 benar dalam pengobatan
• Setelah memvalidasi dan menghitung dosis obat dengan benar, pemberian obat dengan akurat dapat dilakukan berdasarkan prinsip 5 benar.


DAFTAR PUSTAKA Prastiya Indra Gunawan, Darto Saharso,Erny,Kelompok Studi Neurodevelopmental Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya,FK UHT/RSAL Dr. Ramelan Surabaya. http://www.drugs.com/cons/topiramate.html http://www.news-medical.net/news/2004/06/14/23/Indonesian.aspx http://medicastore.com/obat/9590/TOPAMAX_SPRINKLE.html http://epilepsiindonesia.com/obat-epilepsi/topamax http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.drugs.com/cons/topiramate.html http://kesehatan.kompas.com/read/2010/02/25/1415254/Memahami.Epilepsi http://berbagi-sehat.com/article/12254/peran-perawat-dalam-pemberian-obat.html